Beranda | Artikel
Kesurupan Dalam Tinjauan Akidah Islam
Sabtu, 21 Maret 2015

KESURUPAN DALAM TINJAUAN AKIDAH ISLAM

Oleh
Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra, MA

Para pembaca yang dirahmati Allâh Azza wa Jalla
Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa menjadikan kita hamba-hamba yang bersyukur terhadap segala nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada kita. Shalawat beserta salam mari kita ucapkan untuk Nabi kita yang mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semoga Allâh menjadikan kita orang-orang senantiasa berpegang dengan sunnah beliau sampai akhir kehidupan kita.

Agama Islam adalah agama yang sempurna dalam menjelaskan antara hubungan antara sesama makhluk dan bagaimana mereka saling beriteraksi dalam kehidupan ini.

Pada kesempatan kali ini kita akan berbincang seputar hubungan antara bangsa manusia dengan alam jin ditinjau dari sisi sudut pandang Akidah Islam.

AL-QUR’AN DAN HADITS, SUMBER MEMAHAMI PERKARA GAIB
Dalam berbagai kasus, kita menyaksikkan sekian keanehan antara hubungan dua alam tersebut yang menimbulkan seribu tanda tanya dalam benak kita. Akan tetapi, sedikit di antara kita yang mencoba mencari jawabannya melalui berita terpercaya dan akurat. Sumber yang akurat dan terpercaya dalam memberikan jawaban dalam hal ini hanyalah wahyu yaitu al-Qur`ân dan Sunnah yang shahîhah. Sebab, perkara tesebut adalah perkara gaib yang tidak dapat uji secara empiris di laboratorium produk manusia.

Di antara bukti keimanan seseorang adalah meyakini berita perkara-perkara ghaib yang diwahyukan Allâh k kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Hadits yang shahih. Itu merupakan sifat-sifat orang beriman yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya:

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ

Kitab (al-Qur`ân) itu tiada keraguan dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang beriman dengan yang gaib. [al-Baqarah/2:2-3].

Di antara perkara gaib yang diceritakan dalam al-Qur`ân dan Sunnah yang shahîhah adalah tentang keberadaan makhluk gaib seperti Jin dan Malaikat. Allâh Azza wa Jalla menceritakan tentang asal-muasal penciptaan kedua jenis makhluk tersebut dan sifat mereka masing-masing. Kedua alam tersebut memilki kekhususan sendiri-sendiri, meskipun ada sisi kesamaan dalam beberapa hal. Di antara sisi persamaan mereka adalah mereka makhluk halus yang tidak dapat kita lihat dengan alat indera kita dalam bentuk mereka yang asli. Kecuali ketika mereka menjelma atau mereka diizinkan Allâh Azza wa Jalla untuk memperlihatkan diri mereka kepada siapa yang diizinkan Allâh Azza wa Jalla. Akan tetapi, kesempatan ini tidak untuk semua orang.

Atas dasar aspek inilah kedua alam tersebut masuk kategori makhluk gaib atau alam gaib. Perlu dijelaskan pula di sini bahwa alam gaib tidaklah terbatas pada dua alam ini saja. Namun, masih ada alam-alam gaib lain seperti alam barzakh, alam arwah, alam akhirat dengan segala peristiwa yang terjadi padanya, termasuk surga dan neraka.

KLASIFIKASI PERKARA GAIB
Kemudian perkara gaib itu ada dua macam; gaib mutlak dan gaib nisbi; gaib mutlak adalah perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allâh Azza wa Jalla semata. Adapun gaib nisbi adalah perkara yang dapat diketahui oleh sebagian makhluk. Maka alam Jin dan Malaikat termasuk pada bagian kedua yaitu gaib nisbi, karena sebagian malaikat ada yang dapat dilihat oleh sebagian nabi dan rasul, baik dalam bentuk jelmaan menjadi manusia maupun dalam bentuk asli mereka. Sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Malaikat Jibril dalam bentuk yang asli dua kali.

Dalam hadits riwayat Ummul Mukminiin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.
إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيلُ لَمْ أَرَهُ عَلَى صُورَتِهِ الَّتِى خُلِقَ عَلَيْهَا غَيْرَ هَاتَيْنِ الْمَرَّتَيْنِ

Sesungguhnya dia adalah Jibril aku tidak melihatnya dalam bentuk aslinya selain hanya dua kali saja [1].

Demikian pula sebagian Sahabat pernah melihat jin dalam bentuk yang asli, sebagaimana diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu, bahwa ia pernah melihat jin dalam bentuk yang aslinya.

عَنْ أُبَيٍّ بْنِ كَعْبٍ، أَنَّهُ كَانَ لََهُ جُرْنٌ فِيهِ تمَْرٌفَوَجَدَهُ يَنْقُصُ فَحَرَسَهُ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَإِذَا دَابَّةٌ شِبْهُ الْغُلامِ المْحُتلَِمِ قَالَ فَسَلَّمْتُ فَرَدَ السَّلامَ فَقُلتُ : مَا أَنْتَ أَجِنِّيٌ أَمْ إنِْسِيٌ ؟ قَالَ : لاَ بَلْ جِنِّيٌ قُلْتُ نَاوِلْنِي يَدَكَ قَالَ فَنَاوَلَهُ يَدَهُ فَإِذَا يَد ُكَلْبِ وَشَعْرُه كَلْبِ قَالَ لَهُ أُبَيٌّ أَ هَكَذَا خَلْقُ الْجِنِّ قَال قَدْ عَلِمْتَ الْجِنُّ مَا فِيْهِمْ أَشَدُّ مِنِّى قَالَ: فَمَا جَاءَ بِكَ ؟ قَالَ بَلَغْناَ أَنَّكَ رَجُلٌ تُحِبُّ الصَّدَقَةَ فَأَحْبَبْنَاأَنْ نُصِيْبَ مِنْ طَعَامِكَ قاَلَ فَقَالَ لَهُ :فَمَا يُنْجِيْنَا مِنْكُمْ؟ قَالَ: هَذِهِ الآيَةُ فِي سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ { الله ُلا إله إلا هو الحي القيوم } مَنْ قَالهَاَ حِيْنَ يمُمْسِى أُجِيْرَ مِنَّا حَتىَّ يُصْبِحَ وَمَنْ قَالهَاَ حِيْنَ يُصبِحُ أُجِيْر َمِنَّا حَتىَّ يُمْسِيَ فَلَمَا أَصْبَحَ أَتَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ لَهُ ذَلِكُ فَقَالَ صَدَقَ الْخَبِيثُ

Dari Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa ia mempunyai satu bejana berisi kurma, namun selalu berkurang. Pada suatu malam, ia mencoba menjaganya. Tiba-tiba muncul seekor binatang sebesar anak remaja. Maka, ia memberi salam kepadanya, lalu bintang tersebut menjawab salamnya. Ubay bertanya, “Siapa kamu? Jin atau manusia?”. “Bukan manusia, akan tetapi jin”, jawabnya. Ubay berkata, “Coba perlihatkan tanganmu kepadaku!”. Maka ia memperlihatkan tangannya kepada Ubay, tangannya mirip dengan tangan anjing dan berbulu mirip bulu anjing pula. Ubay berkata lagi, “Seperti inikah bentuk ciptaan jin?”. Ia menjawab, “Sesungguhnya para jin tahu bahwa di tengah-tengah mereka ada yang lebih mengerikan daripada aku”. Ubay bertanya, “Kenapa kamu datang ke sini?”. Jin menjawab, “Kami mendengar bahwa kamu orang yang suka bersedekah, kami ke sini karena ingin mendapat bagian dari makananmu”. Ubay bertanya, “Apa yang dapat menjaga kami dari gangguan kalian?”. Ia menjawab, “Ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah (Ayat Kursi). Barang siapa yang membacanya di sore hari, maka ia terjaga dari kami sampai pagi hari. Barang siapa yang membacanya di pagi hari, maka ia terjaga dari kami sampai sore hari”. Keesokan hari, Ubay Radhiyallahu anhu mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan perihal tersebut kepadanya. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Si keji itu telah berkata jujur”[2].

Hadits di atas memuat beberapa poin yang berhubungan dengan pembahasan kita:

  1. Bahwa jin itu memiliki wujud nyata, bukan gambaran tentang nilai-nilai negatif yang ada dalam diri manusia sebagaimana pandangan orang-orang ahli filsafat dan orang yang mengikuti mereka dari kalangan intelektual. Buktinya, dalam kisah di atas jin memiliki bentuk dan punya kebutuhan biologis.
  2. Bahwa jin itu memiliki kebutuhan biologis seperti manusia, di antaranya kebutuhan untuk makan. Dasarnya, dalam kisah di atas jin mengambil buah kurma milik Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu. Demikian pula hal ini ditunjukkan kejadian yang dialami Abu Hurairah Radhiyallahu anhu sewaktu ditugasi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga harta zakat, tiba-tiba ada jin yang mencuri dari harta zakat.
  3. Bahwa jin itu memiliki bentuk dan rupa yang berbeda-beda, ada yang seperti ular, anjing dan binatang lainnya. Buktinya dalam kisah di atas jin muncul dalam rupa yang mirip anjing. Dalam kisah lain, seorang Sahabat yang ingin turut serta berperang bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu ia pulang sejenak sebelum berangkat perang. Ia mendapati sang istri berdiri di pintu dan memberi tahu kepadanya bahwa di kamar ada seekor ular besar. Serta merta Sahabat tersebut langsung membunuhnya, akan tetapi ia dan jin yang menjelma ular itu pun mati di tempat.
  4. Bahwa manusia bisa berbicara dengan jin dan sebaliknya jin dapat mengerti bahasa manusia. Dalam hadits di atas Ubay bercakap-cakap dengan jin. Begitu pula dalam kisah Abu Hurairah Radhiyallahu anhu saat menangkap jin yang mencuri harta zakat.
  5. Agar terhindar dari gangguan jin adalah dengan membaca Ayat Kursi pada pagi dan sore hari. Bukan dengan cara meletakkan tulisan Ayat Kursi dalam dompet atau menggantungkannya di mobil, dinding rumah atau di leher anak-anak kecil sebagaimana perbuatan orang-orang yang tertipu oleh jin.

Dalil-dalil yang menunjukkan tentang keberadaan jin dalam al-Qur`ân maupun dalam hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu banyak sekali tidak mungkin untuk kita sebutkan satu persatu dalam tulisan yang singkat ini. Bahkan salah satu surat dalam al-Qur`an disebut dengan nama Surat al-Jin. Sebagian ulama telah mengumpulkan dalil-dalil tersebut dalam karya ilmiah mereka, seperti Imam Suyuthi rahimahullah dalam kitabnya al-Lu’lu’ Wal Marjin fî Ahkâmil Jânn dan Syaikh ‘Umar Sulaimân al-Asyqar dalam ‘Alam al-Jin wa asy-Syayâthîn dan kitab-kitab ulama yang lain.

Syaikh Shalih al-Fauzân menyatakan bahwa beriman tentang keberadan jin adalah bagian dari keimanan terhadap perkara-perkara yang gaib, sebagai bentuk pembenaran terhadap apa yang diberitakan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keberadaan jin ditetapkan dalam al-Qur`ân, Sunnah dan Ijmâ’. Barang siapa yang mengingkari adanya jin, maka ia telah jatuh dalam kekufuran. Karena, ia telah mendustakan Allâh dan Rasul-Nya serta Ijma’ kaum Muslimin. Adapun orang yang mengingkari perihal masuknya jin kedalam tubuh manusia, ia tidaklah tidak kafir, akan tetapi ia dihukumi sesat[3].

Jin memiliki kewajiban yang sama seperti manusia untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Mereka juga mendapat ganjaran dan balasan atas perbuatan mereka di akhirat kelak. Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya tentang kewajiban jin untuk beribadah kepada-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku. [adz-Dzâriyât/51:56].

Maka, jin yang ingkar dan kafir, akan mendapatkan siksaan Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah menjadikan untuk isi neraka Jahannam itu kebanyakan dari golongan jin dan manusia. Mereka punya hati, akan tetapi mereka tidak mau memahami dengannya (ayat-ayat Kami), mereka punya mata akan tetapi mereka tidak mau melihat dengannya (ayat-ayat Kami), mereka punya telinga akan tetapi mereka tidak mau mendengar dengannya (ayat-ayat Kami). Mereka bagaikan seperti bintang bahkan mereka lebih sesat, mereka itu adalah orang-orang yang lalai (terhadap peringatan Kami)“. [al-A’râf/7:179].

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa jin diciptakan dari bunga api, sebagaimana dalam sabdanya:

خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari bunga api dan Adam diciptakan dari apa yang diceritakan pada kalian.[4]

Akan tetapi, jin tersebut memiliki keserupaan dengan manusia dalam beberapa sifat dan juga memiliki keserupaan dengan malaikat dalam beberapa sifat. Keserupaan sifat mereka dengan manusia, mereka memiliki kebutuhan biologis seperti manusia, seperti makan, memiliki tempat tinggal dan keturunan. Keserupaan sifat mereka dengan malaikat, mereka tidak dapat kita lihat dengan indera kita dan mereka bisa menjelma seperti manusia. Namun, penjelmaan mereka berbeda dengan penjelmaan malaikat. Jin menjelma dalam bentuk rupa yang buruk atau memiliki cacat dalam salah satu anggota badannya, berbeda dengan malaikat secara umum menjelma dalam bentuk rupa yang sangat baik dan tidak ada cacat pada salah satu anggota badannya, kecuali dalam keadaan ketika diperintahkan Allâh Azza wa Jalla untuk menguji anak adam. Seperti dalam kisah tiga orang Bani Israil; orang pertama mengidap penyakit kusta, orang yang kedua berkepala botak tidak memiliki rambut sedikit pun dan orang yang ketiga buta tidak bisa melihat. Setelah mereka sembuh dari penyakit mereka dan masing-masing memiliki harta yang berlimpah, Allâh Azza wa Jalla menyuruh malaikat untuk menguji mereka apakah mereka bersyukur atau tidak? Malaikat datang kepada masing-masing mereka dalam bentuk fisik yang sama semasa mereka mengidap penyakit[5].

Dalam bahasan ini, kita hanya akan membahas tentang hal yang berhubungan dengan jin secara khusus, yaitu masalah kesurupan atau masuknya jin ke dalam tubuh manusia. Sering kita dengar dalam ungkapan masyarakat ketika melihat orang kesurupan bahwa ia kemasukan jin. Atau orang yang marah berlebihan dikatakan ia bagaikan kemasukkan setan.

Perihal tentang mungkinya jin masuk ke dalam tubuh manusia merupakan salah satu sisi perbedaan antara jin dengan malaikat. Hal ini sudah menjadi bahan perdebatan sejak dulu antara Ulama Ahlussunnah dengan para pengikut aliran Mu’tazilah yang bermadzhab rasionalisme[6].

Dalil-dalil yang menunjukkan tentang mungkinnya jin masuk kedalam tubuh manusia serta dapat mempengaruhi perasaan dan pikirannya.
Berikut ini kita sebutkan beberapa dalil yang dikemukakan oleh para ulama Ahlussunnah tentang kemungkinan jin masuk ke dalam tubuh manusia.

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

Orang-orang yang memakan harta riba itu, mereka tidak berdiri (dari kubur mereka) kecuali seperti orang yang kerupan kemasukan setan.[al-Baqarah/2:275].

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Mereka tidak berdiri dari kubur mereka pada Hari Kiamat melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan”[7].

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Dalam ayat tersebut terdapat dalil yang menunjukkan tentang kekeliruan pendapat orang yang mengingkari kesurupan karena jin, mengira bahwa hal itu gejala alam semata, bahwa setan tidak berjalan dalam tubuh manusia dan tidak ada kesurupan karena setan”[8].

2. Dan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِى مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ

Sesungguhnya setan itu berjalan dalam tubuh manusia seperti mengalirnya darah[9].

Al-Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah berkata: “Hadits tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa Allâh Azza wa Jalla memberikan kekuatan dan kemampuan kepada setan untuk berjalan dalam tubuh manusia seperti mengalirnya darah”[10].

3. Imam Ibnu Baththah rahimahullah dalam kitab monumentalnya al-Ibânah:

الْبَابُ الْخَامِسُ بَابُ الإِيْمَانُ بِأَنَّ الشَّيْطَانَ مَخْلُوْقٌ مُسَلَّطٌ عَلَى بَنِي آدَمَ يَجْرِيْ مِنْهُمْ مَجْرَى الدَّمَ إِلاَّ مَنْ عَصَمَهُ اللهُ مِنْهُ . وَمَنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ فَهُوَ مِنَ الْفِرَقِ الْهَالِكَةِ”

Bab yang kelima belas; Bab beriman bahwa sesungguhnya setan itu diciptakan untuk mempengaruhi anak Adam. Ia berjalan dalam tubuh mereka sepanjang aliran darah, kecuali orang yang dijaga oleh Allâh Azza wa Jalla dari gangguannya. Barang siapa yang mengingkari hal itu maka ia termasuk dari kelompok-kelompok yang binasa[11].

‘Abdullâh bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku berkata kepada ayahku, “Ada orang-orang yang berpendapat bahwa jin tidak mungkin masuk ke dalam badan orang yang kesurupan dari golongan manusia!” Beliau menjawab, “Wahai anakku! Mereka itu telah berdusta, (buktinya) jin itu berbicara melalui lisan orang tersebut.”[12] .

Jika ada yang bertanya bagaimana cara jin masuk ke dalam tubuh manusia? Apa mungkin tubuh masuk ke dalam tubuh (lainnya)? Maka jawabanya, hal itu sangat mungkin menurut akal, bahkan ada contoh-contoh nyata dalam alam ini. Seperti air mengalir dalam batang dan urat tumbuhan, air dan makanan yang mengalir dalam tubuh manusia, dan arus listrik mengalir melalu kabel. Demikian pula setan mengalir dalam tubuh manusia seperti mengalirnya darah[13].

Apa Saja Jenis Jin Yang Suka Masuk Ke Tubuh Manusia?
Jenis-jenis jin yang biasa masuk ke tubuh manusia:

  1. Jin pembantu tukang sihir. Ia masuk ke tubuh manusia atas perintah tukang sihir untuk menyakiti seseorang. Jin tersebut bekerja sama dengan tukang sihir atau dukun yang telah mempersembahkan kepada jin tersebut sesuatu dari bentuk ibadah.
  2. Jin yang suka pada seseorang. Yakni, jin yang tertarik kepada seseorang karena kecantikannya atau ketampanannya. Oleh sebab itu, ketika membuka pakaian atau tatkala masuk kamar mandi dan WC, kita dianjurkan membaca doa-doa yang telah diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  3. Jin nakal yang suka menggangu manusia. Jin juga ada yang bersifat suka mengganggu dan menyakiti seperti sebagian manusia suka mengganggu sesama. Alasan mengganggu bermacam-macam, misalnya alasan manusia mengganggu manusia lain. Bisa jadi karena beda keyakinan, kedengkian, atau hawa nafsu jahat lainnya.
  4. Jin yang ingin balas dendam terhadap seseorang yang dengan tidak sengaja pernah menyakiti jin tersebut atau salah seorang dari kerabatnya.

Masuknya Jin Ke Tubuh Manusia Ada Dalam Dua Bentuk:
Pertama: Masuknya jin ke dalam tubuh seseorang di luar kehendak orang tersebut. Hal ini terjadi melalui dua cara; adakalanya atas kehendak jin itu sendiri dan adakalanya dimasukkan orang lain dengan cara sihir.

Kedua: Atas kehendak orang tersebut dengan cara melakukan hal-hal yang dapat mengundang jin agar mau masuk ke dalam tubuhnya atau ke dalam tubuh orang lain. Hal ini biasanya dilakukan oleh tukang sihir dan orang yang menggunakan tenaga jin dalam ilmu beladiri atau silat.

Lalu Bagaimanakah Hukum Masing-Masing Kondisi Di Atas Ditinjau Dari Sisi Akidah Islam?

  1. Hukum masuknya jin ke dalam tubuh seseorang di luar keinginannya. Akan tetapi, atas kemauan dari jin itu sendiri atau atas perintah orang lain seperti tukang sihir dan semisalnya. Maka, pada kondisi ini orang yang dimasuki jin tidak berdosa karena ia dizhalimi dan disakiti, bahkan ia akan diberi pahala oleh Allâh Azza wa Jalla atas kesabarannya. Namun, bukan berarti ia dilarang untuk berusaha mengusir jin tersebut dari dalam dirinya.

Sebagaimana dikisahkan dalam sebuah hadits:

إنَّ الْمَرْأَةَ السَّوْدَاءَ أَتَتِ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وقَالَتْ إِنِّى أُصْرَعُ وَإِنِّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِى. قَالَ « إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ. قَالَتْ أَصْبِرُ. قَالَتْ فَإِنِّى أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ. فَدَعَا لَهَا.

Seorang wanita mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan ia berkata: “Sesungguhnya aku sering kerasukan dan auratku terbuka, maka tolong berdoa kepada Allâh untukku!” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kamu bersabar, maka bagimu adalah surga, namun jika engkau tetap berkehendak untuk didoakan, aku akan berdoa pada Allâh agar menyembuhkanmu. Wanita tersebut berkata, “Aku memilih sabar. Namun tolong berdoa kepada Allâh agar auratku tidak terbuka”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuknya”[14]

Sebagian Ulama menjelaskan bahwa penyebab ketidaksadaran sang wanita tersebut adalah karena gangguan jin sebagaimana yang dirajihkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah  dalam kitabnya yang monumental Fathul Bâri[15] .

  1. Hukum mengundang jin agar masuk ke dalam diri sendiri atau memasukkannya ke dalam diri orang lain.
    Orang yang berusaha memasukkan jin ke dalam tubuhnya sendiri untuk menambah kekuatan dan ketangkasan adalah diharamkan dalam agama dan dihukum sebagai perbuatan syirik kepada Allâh Azza wa Jalla . Karena, jin tidak akan pernah mau menuruti kemauan orang, sebelum orang tersebut mengabulkan permintaan jin tersebut terlebih dahulu. Dan permintaan jin tersebut tidak akan keluar dari perbuatan bid’ah dan syirik, sebagaimana yang dikenal dalam ilmu persilatan dan ilmu bela diri. Biasanya tempat latihan persilatan tersebut terlebih dahulu dilumuri darah dari sembelihan seekor hewan ternak, kadangkala ayam dan kadangkala kambing atau yang semisalnya. Kemudian dalam gerakan persilatan tersebut, ada gerakan yang merupakan persembahan kepada jin. Biasanya, gerakan itu berada pada awal gerakan dari jurus-jurus silat tersebut. Kemudian selama proses latihan ada kegiatan-kegiatan yang berbau kesyirkan, seperti bersemedi dan lain sebagainya. Setelah menuruti kehendak jin tersebut, barulah ia akan mendapat mantra atau jampi untuk memanggil sang jin tersebut. Kadangkala jin mensyaratkan kepada orang tersebut untuk memakai pakaian tertentu, dengan warna atau model tertentu. Atau jin melarang orang tersebut untuk mandi seumur hidup, atau memakan makanan yang disembelih. Ini adalah sebagian bentuk ketundukan yang dikehendaki oleh jin, dengan tujuan agar orang berpaling dari menaati Allâh Azza wa Jalla .

Atau jin tersebut mengajarkan kepadanya wirid-wirid yang memuat ucapan-ucapan yang berbau kesiyirikan atau mengajarkan tata cara ibadah yang menyelisihi sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti puasa empat puluh hari, atau berdzikir dalam sebuah kelambu yang gelap dan tidak boleh keluar selama empat puluh hari. Yang penting bagi jin tersebut adalah orang tersebut taat kepadanya dan durhaka kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mungkin saja orang tersebut secara lahiriah melaksanakan shalat dan berpenampilan layaknya seorang wali. Akan tetapi, ia tidak menyadari bagaimana ia dijerumuskan oleh jin ke dalam jurang syirik dan bid’ah.

Adapun orang yang mengunakan jin untuk menyakiti orang lain, maka orang ini telah melakukan dua dosa besar.

  • Pertama: ia telah berbuat kesyrikan kapada Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana telah jelaskan di atas bahwa jin tidak akan memperkanankan permintaannya sebelum orang tersebut taat terlebih dahulu kepada jin tersebut.
  • Kedua: ia telah berbuat kezhaliman dan kerusakan di muka bumi ini. Karena, dengan perbuatannya tersebut ia telah menyebabkan orang lain menjadi tersiksa dan menderita. Bahkan bisa menimbulkan berbagai macam bentuk kerusakan lain di muka bumi ini, seperti terjadinya perceraian dan pembunuhan yang disebabkan oleh perbuatan sihir yang disebarkan melalui perantara jin.

Oleh sebab itu, banyak sekali dalil yang mengharamlan perbuatan sihir, di antaranya:

Firman Allah:
وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ

Dan tidaklah kafir Sulaiman, akan tetapi para setan yang kafir mereka mengajar sihir kepada manusia.[al-Baqarah/2:102].

Ayat di atas menunjukkan tentang hukum mengajarkan sihir dan hal itu merupakan perbuatan setan baik setan dari golongan jin maupun setan dari golongan manusia.

Kemudian Allâh Azza wa Jalla menjelaskan pada lanjutan ayat di atas tentang hukum orang yang mempelajari sihir, bahwa sihir itu tidak membawa manfaat, akan tetapi membawa kemudaratan dalam kehidupan mereka, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Di akhirat kelak, mereka tidak akan mendapat bagian sedikit pun dari kebaikan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Mereka mempelajari sesuatu yang membahayakan mereka dan tidak bermanfaat kepada mereka, dan sesungguhnya mereka telah mengetahui bagi orang yang membelinya ia tidak akan memiliki bagian sedikit pun pada akhirat kelak. Dan sungguh amat buruk apa yang mereka beli dengan diri mereka, seandainya mereka itu mengetahui”. [al-Baqarah/2:102].

Perbuatan sihir merupakan salah satu dosa besar yang akan membinasakan pelakunya sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam peringatkan dalam sabdanya:

« اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَأَكْلُ الرِّبَا وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ

Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan! Beliau ditanya, “Apa saja wahai Rasûlullâh?”. Beliau menjawab, “Berbuat syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yagng diharamkan Allâh kecuali dengan alasan yang haq, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari dari medan perang, dan menuduh perempuan-perempuan terhormat berzina dari kalangan kaum wanita mukmin”[16]

Bagaimana Caranya Agar Kita Selamat Dari Gangguan Jin?
Pertama adalah dengan menghafal Ayat Kursi dan membacanya pada setiap selesai Shalat Fardhu, pagi dan sore hari, serta ketika hendak tidur, sebagaimana telah kita sebutkan pada awal bahasan kita ini tentang kisah Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anhu .

Termasuk pula membaca dzikir dan doa-doa yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai aktifitas, kesempatan dan keadaan. Seperti doa pagi-sore, doa ketka masuk WC, doa ketika membuka baju, doa ketika memasuki daerah baru dsb. Silakan lihat berbagai doa dan dzikir tersebut dalam kitab-kitab doa yang telah ditulis oleh para Ulama kita.

Kedua adalah dengan menghindari sebab-sebab yang mengundang jin untuk berbuat jahat pada kita. Seperti, suka melamun dan kebiasaan-kebiasaan sejenis, serta menjauhi sikap yang berlebihan dalam bergembira, dalam bersedih, atau terlalu marah dan terlalu lapar. Karena pada kondisi-kondisi yang kurang stabil tersebut membuat kita kehilangan konsentrasi sehingga sangat mudah bagi jin untuk masuk mempengaruhi sikap dan perasaan kita.

Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Lihat Shahîh al-Bukhâri 1/110 (457) dan Shahîh Muslim 4/1840 (4574).
[2] HR. al-Hâkim dalam al-Mustadrak 1/749 (2064), dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabîr 1/201 (541).
[3] Lihat I’ânatul Mustafîd 1/188.
[4] HR. Imam Muslim 8/226 (7687).
[5] Lihat kisah tersebut dalam Shahîh al-Bukhâri 3/1276 (3277) dan Shahîh Muslim 8/213 (7620).
[6] Sesungguhnya orang-orang Mu’tazilah tidak memiliki satu pun dalil dari al-Qur`ân dan Sunnah dalam mengingkari perkara masuknya jin ke dalam tubuh manusia. Pegangan mereka hanyalah analogi akal semata yang menyelisihi dalil-dalil syar’i. Mereka mengatakan bahwa jin adalah zat yang halus dan lemah tidak memiliki kekuatan apa-apa terhadap manusia.
[7] Lihat Tafsir al-Baghawi 1/340.
[8] Lihat Tafsir al-Qurtubi 3/355.
[9] HR. al-Bukhâri 3/1195 (3107) dan Muslim 7/8 (5808).
[10] Lihat Syarh an-Nawawi 14/157.
[11] Lihat al-Ibânah 2/61.
[12] Lihat Majmû’ Fatâwa Ibnu Taimiyah 3/13.
[13] Lihat al-Mu’tashir Syarh Kitâb at-Tauhîd hlm. 146.
[14] HR. al-Bukhâri 5/2140 (5328) dan Muslim 8/16 (6736).
[15] Lihat Fathul Bâri 10/115.
[16] HR. al-Bukhâri 3/1017 (2615) dan Muslim 1/64 (272).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4101-kesurupan-dalam-tinjauan-akidah-islam.html